Informasi ini dari pengalaman

Dulu aku memilih Prabowo…

Dulu aku memilih Prabowo…

Keputusanku untuk akhirnya mendukung Jokowi sebagai calon presiden Indonesia 2014-2019 itu bukan keputusan yang tiba-tiba dan gelap mata, tapi juga bukan sesuatu yang kuputuskan sejak lampau karena dulunya aku memilih Prabowo.

Karakter yang ‘sat-set’

Sejak kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009 silam, aku mulai berpikir untuk mencari sosok baru yang layak dipilih pada 2014 karena sistem politik baru kita menghendaki presiden hanya boleh dipilih dua kali saja dan Yudhoyono akan ‘kehabisan jatah’ by October 2014.
Kriteria utamaku waktu itu adalah sosok yang dalam bahasa jawanya ‘sat-set’, karakter yang bukan peragu, tidak terlambat mengambil keputusan, tegas dan pemberani.
Untuk itu, aku mengamati Prabowo Subianto.
Bagiku, ia tampak gesit, licin dan punya daya dobrak yang hebat.
Saat aku mengutarakan ketertarikanku pada Prabowo, seorang kawan yang tahun 1998 dulu ikut dan sama-sama berteriak “Turunkan Soeharto.. Turunkan Soeharto sekarang juga!” mengingatkanku tentang keterlibatannya dalam kerusuhan dan penculikan aktivis-aktivis 98.
Tapi hal itu selalu bisa kujawab dengan mudah bahwa katakanlah ia terlibat, Prabowo tentu tak sendirian dan kesalahan kolektif nan komunal yang terjadi di akhir rezim Soeharto itu, bagiku tak bisa dijatuhkan pada Prabowo seorang.
Secara hukum, masih menurutku, katakanlah ia bersalah, ia telah pula menjalankan hukuman dari kelakuannya itu yaitu diberhentikan dari kedinasan militer. (Baca artikel menarik tentang kasus ini di blog milik kawan baik saya, Herman Saksono)
Alasan lain kenapa aku tertarik pada Prabowo dulu adalah meski aku dulu ikut ‘bersuara’ di tahun 1998, tapi kerinduanku pada sosok Soeharto tentang bagaimana ia mampu membungkam gerakan-gerakan radikal garis keras yang makin hari makin mendominasi pemberitaan media massa di tanah air mampu melupakan sejenak beribu ‘dosa’ nya yang lain.
Aku berpikir, saat Soeharto berkuasa, mana ada yang berani omong untuk mendirikan negara agama? Tokoh-tokoh ormas dan partai radikal waktu itu banyak bersembunyi di Malaysia, Mesir dan Afganistan sementara yang kroco-kroco dan tak sanggup hijrah ke luar negeri, mereka tiarap tak bersuara.
Nah, sosok seperti itu, bagiku ada dalam diri Prabowo Subianto.
blog_jokowi2

Fenomena Jokowi-Ahok

Puncak ketertarikanku pada Prabowo adalah pada saat ia dengan Gerindra-nya bersama PDI-P mengusung Jokowi-Ahok maju ke Pilkada Gubernur DKI Jakarta, 2012 silam.
Bagiku, itu adalah gebrakan terkeren di awal dekade ini karena Jokowi-Ahok benar-benar mewakili generasi baru yang tidak pernah tersentuh ‘Orde Baru’. Waktu mereka berdua menyorongkan ide Jakarta Baru, secara samar-samar pasti aku melihatnya sebagai pseudo-format dari Indonesia Baru!
Tapi sayang, bagiku Pilkada Jakarta itu lantas menjadi ‘panggung’ terakhir bagi Prabowo…
Maksudku, idealnya, sosok yang mencalonkan diri sebagai pemimpin bangsa harusnya punya ‘panggung’ untuk mengaktualisasi siapa dirinya di mata masyarakat. Bukan hanya lewat pencitraan iklan tapi juga tentang apa dan bagaimana ia mampu men-deliver sesuatu kepada rakyat.
Sementara di sisi lain, Jokowi (dan Ahok) semakin gemerlap di panggungnya. Semakin banyak hal positif yang dikerjakan Jokowi yang tampak sebagai hal baru ketika menjabat Gubernur Jakarta.
Aku menghitung ada tiga momentum yang membuatku berpikir bahwa Jokowi, suatu waktu, layak untuk diperhitungkan dalam skala yang lebih besar, nasional.
Pertama adalah momen ketika Jokowi memilih Susan sebagai lurah Lenteng Agung. Banyak orang berkoar bahwa Susan dijadikan simbol bagaimana Jokowi membela kaum minoritas padahal kalau mau ditelaah secara benar, ia tak bermaksud membela dan mencari muka terhadap kaum minoritas, tapi lebih pada prinsip bahwa siapapun yang terbaik ya dipilih terlepas ia datang dari kaum mayoritas maupun minoritas.
Kedua, momen ketika ia menjabat sebagai walikota Solo, mengundang makan lebih dari seribu pedagang sebanyak lebih dari 50 kali hanya untuk memindahkan tempat mereka berjualan ke tempat yang lebih layak dan teratur.
Bagiku bukan perkara angkanya, tapi perkara pendekatan yang dikenalkan yang sangat manusiawi, kreatif sekaligus menggali pola pendekatan lawas yang tetap efektif: makan.
Ketiga adalah momen ketika Jokowi berani membuat keputusan tentang Tanah Abang. Siapa tak tahu Tanah Abang dan siapa yang tak tahu orang di belakang Tanah Abang? Tapi bagi Jokowi, hal itu tak menghalangi niatnya untuk berlaku profesional sebagai gubernur yang tak tebang pilih untuk membereskan apa dan siapa saja yang perlu dibereskan untuk bikin benar tatanan!
Tapi saat itupun bahkan hati kecilku masih bicara bahwa Jokowi baik tapi untuk 2019 saja lagipula, waktu itu, siapa sih yang bisa mengatasi Mega? Sudah barang tentu ia akan mencalonkan diri sebagai capres dari PDI-P dan jika itu terjadi, ya jelas Prabowo yang paling cocok memimpin bangsa!

Jokowi?

Hingga akhir Maret lalu, suatu sore aku mendengar kabar mengejutkan, Jokowi ditunjuk sebagai calon presiden setelah sekian lama publik dibuat bertanya-tanya siapa yang akan dicalonkan PDIP sebagai capresnya.
Di situ aku menengarai ada ‘arus balik’ dalam alam pikirku untuk berpikir akan seperti apa Indonesia jika Jokowi yang menang?
Bagaimana jika ternyata Mega menjadi dalang dari boneka Jokowi ketika ia dilantik menjadi presiden nanti? Siapa wapresnya? Akankah Puan Maharani atau siapa?
Sementara di lain pihak, aku waktu itu sangat menantikan Prabowo membuat keputusan mengejutkan pula: Ia mengangkat Ahok menjadi cawapres! Karena kalau sampai waktu itu benar-benar terjadi demikian, aku semakin tak ragu lagi memilih Prabowo karena bagiku, Ahok adalah pemberi angin yang benar-benar baru terutama dengan kecepatan dan sikap tak tebang pilihnya yang mirip dengan Jokowi.
Tapi sayang hal itu tak terjadi…

Jokowi!

Perkembangan menarik terjadi setelah Pemilu legislatif usai digelar.
Perolehan angka semua partai tak saling mencukupi untuk mereka membawa calon presiden sendiri dan terjadilah praktek koalisi.
Pada point itu, aku menetapkan langkah bahwa bagiku, siapa yang akan jadi kawan siapa, itu yang akan menentukan pilihanku dalam bilik suara pada hari Sabtu, 5 Juli 2014 yang akan datang. (Pemilu Presiden di Sydney diadakan pada hari itu, empat hari lebih dulu ketimbang Pilpres nasional, 9 Juli 2014).
Seperti yang telah menjadi suratan, semua lantas berkumpul satu sama lain seperti yang kita lihat sekarang ini; Jokowi memilih Jusuf Kalla menggandeng partai-partai yang kalian sudah kenal sedangkan Prabowo memilih Hatta Rajasa dan menggandeng partai-partai serta tokoh-tokoh yang kalian juga sudah ketahui siapa saja mereka…
Di titik itulah aku merasa sebagai manusia Indonesia yang meski sudah tidak tinggal di Indonesia tapi masih punya keluarga besar di sana dan berharap setiap acara liburanku ke Indonesia akan selalu baik-baik saja, aku berpikir untuk tidak memilih Prabowo Subianto.
Sikap itu kuhasilkan dari perhitungan-perhitungan pribadiku dengan melihat rekam-jejak partai, ormas dan para tokoh yang berdiri di belakangnya, bukan semata-mata sosok Prabowo-nya.
Aku tak berkata bahwa tokoh-tokoh dan parpol-parpol pendukung di belakang Jokowi tak bermasalah, tapi aku mencoba berpikir praktis bahwa harus ada seorang yang dipilih dan lebih baik demi tidak berkuasanya seorang lain yang menurut perhitunganku akan menjadi tidak baik.
Harus ada seorang yang kita nilai lebih kecil kemungkinannya untuk melakukan hal-hal tak terpuji ketimbang seorang yang lainnya….
Harus ada seorang yang kita nilai akan membawa Indonesia ke masa depan yang lebih gemilang, plural, demokratis, menghormati alam dan lingkungan dan punya agenda untuk perubahan mental anak bangsa yang lebih baik dalam segala hal… dan orang itu adalah Jokowi!
blog_dnnyjow
Posted by Admin Printerceda, Published at 10:43 PM and have 0 comments